Ujian itu Bernama Pilkada

Voting
Sumber : www.huffpost.com

Habis Isyak Kang Pri dan Kang Di seperti biasa lagi duduk-duduk di pos kampling kampung nunggu malam larut, sebenarnya saat itu pun malam sudah mulai sepi dan angin malam sudah mulai menyapa dengan dinginnya. Seperti biasanya juga tangan masing-masing tangan kanannya njepit kretek yang diraciknya sendiri. Entah kenapa kretek lintingan sendiri katanya lebih sedap. Tapi sepertinya bukan rasanya yang bikin sedap sih, tapi harganya. Soalnya beberapa waktu lalu Kang Di dan Kang Pri juga sempat bingung lantaran baca facebook katanya rokok mau naik jadi 50an ribu.

“Kang, Jakarta rame, ya?” Tanya Kang Pri membuka obrolan sore itu.

“Iya Kang, hawong mobilnya banyak gitu. Emang kampung kita yang lewat cuma motornya Pak Ji?” Timpal Kang Di sambil pipinya kempot menyedot kreteknya.

“Ah, Sampeyan itu. Bukan itu. Maksudku soal Pilkada itu, lho?” Kata Kang Pri sambil menggoyang-nggoyangkan kreteknya untuk membuang latu kreteknya.

“Owh itu toh, iya rame banget, sampai semua TV mbahas yo Kang? Padahal Aku mana peduli sama mereka? Aku yang penting jagoku pas pilihan petinggi kemarin menang, jadi Aku bisa dapet sewa sawah bengkoknya” Jawab Kang Di panjang lebar.

“Aku tahu Sampeyan memang gitu, mau untung sendiri, mengorbankan masyarakat supaya bisa dapet kesempatan nggarap sawah bengkok” Kata Kang Pri dengan nada agak meninggi.

“Santai, Kang. Lha masyarakat kampung sini sendiri yang mau digituin, dipancing dikit marah, dipancing dikit emosi, jadi ya kesempatan buat orang-orang seperti saya ini untuk ambil untung” kata Kang Di menjelaskan.

“Emang bener ya Kang kemarin lawan Pak Petinggi itu melakukan korupsi terus sampai di demo masyarakat segitu banyaknya?” Tanya Kang Pri.

“Ya saya ndak tahu, hawong saya ini cuma di suruh memenangkan Pak Petinggi ya semua cara saya lakukan, termasuk dengan cara mendemo lawan Pak Petinggi yang sudah kadung dicap koruptor itu sama warga kampung.” Kang Di menjelaskan.

“Ow jadi sampeyan yang menggerakkan? Tapi kok kata mereka nggak ada yang menggerakkan dan nggak ada yang bayarin?” Tanya Kang Pri antusias.

“Ya kalau mereka yang kroco ya ndak dibayar tho, Aku cukup membayar tokoh-tokoh saja, mereka yang punya pengaruh yang aku beli, tokoh-tokoh itulah yang kemudian pidato sana sini mempengaruhi orang yang yakin bahwa lawan Pak Petinggi kemarin korupsi” Jelas Kang Di.

“Ow begitu tho? Canggih juga sampeyan, Kang?” Tanya Kang Pri penasaran.

“Ya gimana lagi, pihak sana juga sama main curang juga. Masak sampeyan ndak ingat waktu dia juga njelekin Pak Petinggi yang katanya ikut aliran sesat, pake pesugihan dan sebagainya itu, sebenernya demo itu juga ndak salah-salah amat hawong kayanya emang bener dia korupsi” Kata Kang Di.

“Iya, dan setelah itu pihak lawannya Pak Petinggi langsung membuat citra seolah-olah sedang dianiaya, sedang dzlimi supaya dapat simpati masyarakat” Jawab Kang Pri.

“Nah itu, makanya ini politik memang makin canggih modusnya” Jawab Kang Di.

“Ngeri ya, Kang? Ndak di Kampung ndak di Kota kok semua ribut soal kekuasaan?” Kata Kang Pri.

“Memang begitu politik, Kang. Kita-kita ini kadang yang nggak jeli. Kok maunya dimanfaatin orang yang mau berebut kekuasaan, sampai kadang dibelani ndak rukun sama tetangga, jadi ndak gayeng lagi ketemu kawan bahkan kadang-kadang ndak mau nyapa saudara gara-gara beda pilihan” Kata Kang Di.

Akhirnya mereka meninggalkan pos kampling itu untuk tidur, Kang Pri berdoa semoga masyarakat menyadari bahwa sebagian dari mereka selama ini dimanfaatkan oleh orang-orang seperti Kang Di yang berburu keuntungan dari perebutan kekuasaan ini. Pilihlah pemimpinmu dengan hati nuranimu dan hargai perbedaan pilihan dengan lainnya.

Jika bermanfaat silakan anda bagikan tulisan ini dan kami juga memiliki koleksi tulisan yang menarik lainnya, silakan klik Daftar Isi untuk melihat daftar tulisan kami. Selamat membaca! :-)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14 Komentar

  1. Itulah potret rakyat indonesia, saat pilkada mereka lupa mana saudara mana tetangga. Yang penting jagonya menang, meskipun harus memakai cara yang tidak seharusnya.

  2. Ini tingkat pilkada loh ya…

    di desa ane pemilihan kades pun ..karena tetangga beda pilihan ampe sekarang gak akur..buset dah ….

  3. Pilkada memang menguji kesabaran. Menguji kesabaran agar kita jangan saling hujat dan bermusuhan secara fisik dengan para pendukung lawan dari yang kita dukung.
    Tapi yo embuh lah… Yang namanya mencari untung tadi, banyak orang yang memanfaatkan kesempatan sehingga memunculkan emosi berlebih dari lawan.

  4. Pilkada sering membuat mumet ya Kang.
    Kecanggihan teknologi malah dimanfaatkan untuk menyebar hoax dan kebencian.
    Miris,
    Beda pilihan koq serasa beda bangsa. Malah kadang kadang serasa mau perang aja.
    Semoga kedepan, anak bangsa ini makin cerdas, tidak mudah untuk dimanfaatkan oleh pihak tertentu demi kepentingan golongannya.

  5. Kalo dulu2 beda pilihan itu wajar dan biasa saja. Entah kenapa sekarang jadi salong hujat dan menebarkan kebencian satu sama lain.
    Kalo diliat2 ya pilkada emg udh selesai, tapi ribut2nya masih berlangsung.
    Liat saja 2019 udh di depan mata juga.
    Huuft lelah.

  6. Bahkan kadang kalanya gara gara pilkada satu rumah beda pilihan aja ngak akur, Padahal jagonya udah akur semua. Ngeri kang priiii,, ujian pilkadaL ini :)