Lebaran Singkat di Desa Kapu

Kumpul-kumpul setelah lelah saling berkunjung

Ah Lebaran sebentar lagi. Tulisan ini dibuat pada suasana jalanan di pantura sudah mengalami kepadatan, walaupun enggak padat-padat banget, namun ini sudah menandakan bahwa lebaran sudah dekat, tentunya selain iklan mardjan yang semakin menjadi-jadi. Lebaran datang, kota jadi sepi, desa menjadi semarak. Semarak orang rantauan yang pulang untuk melepas kangen dan ada juga yang niatnya pamer ninja. Duh.

Ndak ketinggalan juga di Kapu. Di Kapu yang berjarak 10 KM dari pusat kabupaten Tuban ini juga mendadak semarak. Semaraknya sih sejak awal ramadhan, Mushola dan Masjid berlomba cepet-cepetan Tarawih dan tadarusan, kemudian menurun pada 10 akhir ramadhan, semaraknya pindah ke Jalan Pemuda atau Bravo, itu swalayan paling joss sak Kabupaten Tuban. Ruame, apalagi udah ada eskalatornya. Lumayan udah mirip mol-mol di kota besar.

Untungnya ada kegiatan maleman, yang biasanya juga diisi sama ziarah wali di Tuban. Sempat-sempatin ke Mushola di tengah kesibukan mencari baju andalan menunjang penampilan saat lebaran. Ke Mushola karena pengen ikut maleman, walaupun juga ada saja yang berniat jalan-jalan, lihat-lihat Jalan Pemuda dan Bravo. Lho! Ha Piye hawong Sunan Mbonang itu letaknya di tengah pusat kota. Sebelah timur Alun-alun, Sebelah selatan Bravo dan sebelah baratnya Jalan Pemuda.

Lepas dari 10 hari terakhir, maka persiapan akhir sebelum lebaran adalah nyekar ke sanak saudara yang sudah meninggalkan kami semua. Tapi anehnya momen ziarah ini ndak hanya menyambung silaturahim dengan yang sudah tiada, namun juga menyambung silaturahim dengan yang hidup. Ha gimana, tempat pemakaman desa jadi ramai. Banyak yang sudah lama tak bersua, berjumpa di sini, saling menanyakan kabar, menanyakan utang yang sudah lama belum kunjung dibayar dan diakhiri dengan saling mendoakan. Duh indahnya.

Pulang dari kuburan jangan lupa cuci kaki sebelum masuk rumah, konon banyak setan yang menempel dan akan hilang ketika membasuh kaki. Di Kapu tidak ada penjual kembang dadakan seperti di kota-kota besar. Tidak mengherankan hawong banyak yang punya pohon kembang ijo yang baunya kuburan banget itu. Kalaupun ndak punya pohonnya ya tinggal mintak ke tetangga.

Sorenya warga desa terlihat sibuk, bawa hantaran ke tetangga sana dan sini, tak lupa juga untuk sanak saudara lain desa tapi masih terhitung dekat. Pada malam harinya giliran bapak-bapak yang tampak lalu lalang sambil menenteng kresek hitam, kadang putih kadang juga merah. Kresek apa itu gerangan, apalagi kalau bukan kresek berkat. Ini adalah ritual selametan riyoyo yang diikuti oleh hampir seluruh warga desa.

Acaranya saling mengunjungi ke rumah-rumah orang, dilanjutkan berdoa bersama di rumah orang yang dikunjungi kemudian setelah selesai dibagi berkat per orang satu. Syahdu betul suasananya. Jika Mas Aji bilang mudik adalah perayaan kerinduan, ini adalah salah satu perayaannya di desa Kapu. Siapapun perantau asal Kapu akan merindukan telur berkat yang disimpan dan dimakan besoknya ketika selesai sholat Ied.

Setelah sibuk anjangsana berbonus berkat yang beneran penuh berkah. Ha Piye berkat itu didoain seluruh orang selingkungan. Giliran anak muda mudi sibuk hilir mudik. Ada yang (suwit-suwit) bawa ceweknya, ntah udah jadian atau baru mbribik, ada yang sama genknya ada juga yang pamer ninja. Duh. Anak-anak ini sibuk Takbiran keliling. Takbir keliling baru-baru ini saja semarak, gara-gara anak-anak IPNU-IPPNU itu bikin acara festival tongklek. Lha masak peralatan tempur yang ditabuh sebulan penuh saat sahur ndak dimanfaatkan ketika malam Idul Fitri ini. Duh saya mbrebes mili nulis ini, rindu betul saya sama suasana ini.

Paginya ndak kalah syahdu. Menjelang Shubuh, pemuda-pemuda yang takbiran semalam suntuk semakin menjadi, seolah tak rela ditinggalkan oleh malam yang betul-betul ngangenin setiap manusia yang bernafas di Kapu. Ufuk timur telah menguning, para pemuda dengan wajah kelelahan tapi senyum merekah di wajah, sambil menyandang sarung yang semalaman melindungi tubuh dari nyamuk dan dinginnya ubin Mushola, meninggalkan Mushola dan persiapan ke Masjid.

Jalan-jalan Desa yang akhir-akhir ini penuh dengan kendaraan sepeda, mobil, sepeda motor dan lain-lain, pada pagi itu akan berubah total. Hening, hanya ada suara-suara gremembyeng warga yang mulai berangkat ke Masjid. Karena saking heningnya, suara tetangga yang disebrang sana pun kedengaran. Dengan rukuh yang sudah menutup rapi aurot para wanita dan sarung serta tidak lupa baju taqwa membalut dengan gagah tubuh para pria, mereka menuju ke Masjid.

Tempat favorit sih paling belakang. Duh betul-betul ini. Jamaah pun ada yang mulai nggelar koran, sajadah, terpal, perlak dan apapun yang suci untuk alas. Imam Sholat Ied biasanya bersuara mistis, dengan suara mistisnya beliau memulainya dengan takbir 7 kali. Sholat Ied yang sangat-sangat singkat walaupun bertakbir ikhrom 7 kali atau kalau ditotal ada 12 kali, tapi terasa sangat singkat. Kangen betul sama Sholat Ied.

Imam dengan suara mistisnya mengakhiri Sholat Ied dengan salam. Jamaahpun mulai ancang-ancang pulang mulai tengok kanan dan kiri salaman. Njawil depannya untuk salaman juga dan putar arah kebelakang untuk menyalami jamaah lainnya. Sebagian besar duduk khusuk mendengarkan khotbah dan sebagian lainnya mulai melipat sajadah siap-siap pulang, duh Mas hambok sabar. Pamer ninjanya masih ada waktu seharian ini.

Jamaah dengan semangat meninggalkan Masjid, dan Show Time! Ini acara puncak lebaran di Kapu. Semua orang saling mengunjungi ke tetangga-tetangga. Tapi alih-alih saling mengunjungi malah pada ketemunya di jalan. Lha piye semua keluar rumah pengen dulu-duluan berkunjung. Duh rindu betul saya sama suasana ini. Semua tersenyum semua berlomba bersalaman, dulu-duluan minta maaf. Coba setiap hari kaya gini, adem dunia.

Dengan cara seperti itu, jadilah lebaran di Kapu ini berlangsung singkat bahkan sangat singkat. Dari bubar Sholat Ied sampai jam 09.00 sudah rata sedesa dikelilingin. Semangat betul. Dan saat itu terjadi jajanan atau kue-kue lebaran jarang sekali disentuh. Percuma persiapan kue lebaran nggak ada yang makan. Ha gimana datang langsung “Lek nyuwun sepuro nggeh” habis itu plencing ilang. Senengnya saya, di desa ini ndak ada tradisi bagi-bagi uang. Indah betul, ndak ada budaya yang menurut saya dekat dengan hedonisme ini.

Selamat lebaran semuanya, saya pamit mudik, ya. Sampai ketemu di Kapu!

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

16 Komentar

  1. ???Baru tahun ini q Nggak merasakan lebaran sm keluarga ada rasa yg tak bs di ungkap kan dgn kata-kata

  2. Aku kok sedih ya bacanya… mungkin karena sudah LIMA TAHUN ndak pernah Lebaran di Gresik …
    Entah kapan bisa Lebaran di Indonesia lagi…

  3. Pulang dari kuburan jangan lupa cuci kaki sebelum masuk kaki. Jadi agak bingung nih, maksudnya cuci kaki sebelum masuk rumah. Kepercayaan yang turun menurun ya, intinya sebenarnya untuk menjaga kebersihan, diri sendiri dan rumah pastinya biar tidak kena lumpur/tanah makam.

  4. Di kampung saya, Lampung, dulu juga ada tu adat ibu ibu saling menghantar. Sampek buanyak makanan di rumah. Begitu juga undangan kenduri buat bapak-bapaknya. Seiring berjalannya waktu semua itu hilang dengan sendirinya.

  5. “Lek kulo nyuwon sepuro njehhh”. Sambil ambil jajan di meja lalu plencing. Duhh, damainya budaya nusantara ini.

    Oiya moga slamat ampe tujuan pak Lek mudiknya. Jangan lupa oleh olehnya dari jakarta kami tunggu lho ya hehe ?

  6. Lebaran lebaran, semua yang dikota pulang ke kampung halaman..
    Lebaran lebaran, semua dosa antara sesama melebur menjadi ampunan…
    Lebaran lebaran, hati kembali suci hidup baru penuh keberkahan.