Ritual Udukan untuk Peringati Maulid Nabi di Kapu

Udukan
Persiapan Udukan di Desa Kapu

Suatu hari di tahun 2015 saya ngobrol dengan Ibuk. “Cung, sampeyan sudah berapa kali Udukan ndak ikut?” Tanya Ibuk. Saya langsung teringat, ketika saya meninggalkan Kapu tepat saat ritual Udukan sedang berlangsung. Saya juga masih ingat betul, ketika saya berangkat ke Jakarta melalui Rumah Makan Taman Sari, saya dibekali sebungkus nasi uduk. “Nek ndak salah sekitar 5 kali buk ndak ikut Udukan” Jawab saya. Kemudian saya lihat kalender, ternyata ada libur berurutan empat hari di akhir tahun dan serunya ada libur Maulid Nabi disitu. Singkat cerita saya langsung menebus tiket pulang. Ndak sabar rasanya mengikuti ritual yang sudah lima tahun ndak saya ikuti.

Hari yang ditunggupun tiba, siang itu hari Rabu (23/12/2015), saya sedang ada tugas kantor. Selalu seperti ini, setiap saya akan pulang kampung ada saja pekerjaan mendadak yang harus diselesaikan. Tanpa diduga, saya mendapatkan tugas sebagai Pelaksana Harian, karena atasan saya berhalangan hadir waktu itu. Sehari sebelumnya saya juga pulang pagi dari kantor demi mengerjakan pekerjaan mendadak yang diberikan manajemen. Tapi Alhamdulillah hari itu selesai dengan lancar dan saya pun bisa dengan tenang pulang kampung.

Saya sampai di Bojonegoro berbeda dari biasanya. Jika biasanya saya sampai pada pukul 03.00 pagi sekarang pukul 10.00 malam saya sudah sampai dengan selamat. Sampai dirumah ya langsung mandi, kemudian makan dan tidur.

Pagi harinya dibangunkan istri untuk bersiap menyambut ritual Udukan. Berhubung istri saya sepertinya masih bingung dengan apa yang harus dipersiapkan, maka saya meminta bantuan Ibuk untuk memasak menu khas Udukan dan istri saya kebagian tugas membawa kue-kue.

Awalnya bingung juga mau bawa kue apa. Untungnya ada temen istri yang memberitahukan kue Wingko yang enak jaya. Tempat belinya ada di Pasar Pramuka Tuban. Tanpa pikir panjang istri saya menelpon penjualnya dan memesan wingko. Wingko pun datang. Saya coba dikit, dan mmmmmm….. enak joss pokok’e. Setelah nyoba dikit, saya dan istri lalu siap-siap berangkat ke Kapu.

Sampai di Kapu, aroma nasi Uduk sudah tercium. Warga sudah bersemangat menyambut ritual tahunan ini. Pasar-pasar ramai dan toko-toko bahan makanan juga ramai Ibu-Ibu yang belanja untuk keperluan ritual. Keramaian ini biasa disebut prepekan. Artinya kurang lebih ya belanja-belanja untuk melengkapi apa-apa yang kurang.

Waktu berjalan cepat, tiba-tiba sudah maghrib saja. Saya dengan semangat menuju ke Musholla belakang rumah. Musholla yang biasanya biasa-biasa saja saat ini ramai Jama’ah yang membawa ambeng yang berisi nasi Uduk lengkap dengan pernak-perniknya.

Selesai Sholat Maghrib dan wiridan bersama, acara pun dimulai. Diawali dengan berkumpulnya seluruh jama’ah secara melingkar dan ambeng yang tadi dibawa diletakkan ditengah. Saya kebagian mempersiapkan air kobokan untuk nanti jama’ah cuci tangan sebelum makan. Kemudian saya juga kebagian tugas mengambilkan air minum. Air Minum di desa ini masih pakai kendi. Jadi air dimasak dan setelah agak dingin dimasukkan ke kendi.

Selanjutnya para jama’ah mengumpulkan uang Wajib. Dulu uang wajib ini untuk kiai atau ustadz yang memimpin saat selametan atau acara-acara yang lainnya, seiring perkembangan zaman, uang wajib ini digunakan sebagai kas lingkungan. Dari uang wajib ini jalan lingkungan saya jadi baik, kemudian jalanan yang dulunya gelap gulita sekarang terang benderang dan banyak lagi hal-hal yang dibiayai oleh uang wajib ini.

Acara dilanjutkan dengan laporan keuangan lingkungan, dan tahu nggak saldonya berapa? cuma kurang lebih Rp 400.000,- kecil ya? Ya kecil kalau di Jakarta, tapi kalau di desa uang segitu udah sangat berarti. Setelah itu uang wajib yang dikumpulkan saat acara dihitung dan diserahkan kepada pemimpin ritual, nanti akan dilaporkan lagi ketika malam Jumat Wage. Oiya di Kapu ini ada kumpul-kumpul warga setiap sebulan sekali tepatnya hari Jumat Wage. Ya acaranya doa bersama dan makan bareng dan tidak lupa pengumpulan uang wajib.

Udukan
Suasana saat acara berlangsung

Acara intipun dimulai. Pemimpin ritual mulai membacakan bait-bait yang ada di kitab Barjanzi. Kitab Barjanzi adalah sebuah kitab yang berisi tentang sejarah kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan juga sholawat kepada Nabi Muhammad. Pembacaan Barjanzi diakhiri dengan doa. Saat sesi berdoa, semua peserta mengangkat tangan, kecuali beberapa anak yang sudah melirik-lirik nasi uduk :-D saya pun kadang-kadang tergoda ikut melirik hehehe.

Doa selesai. Langsung serbuuuuuuuuuuuu…… eh pelan-pelan. “Ayo Mas, monggo itu nasi uduk dibuka saja dimakan atau kalau mau nggado lauknya saja juga boleh” tawar Pak De Jimu kepada saya. Lha saya dengan senang hati membuka ambeng yang ditempatkan disebuah wadah dan dibungkus kain taplak itu. Dan rasanya emang top. Kami semua mulai membuka ambeng masing-masing dan makan bersama. Sebelum makan jangan lupa cuci tangan dengan air kobokan yang udah saya siapin tadi ya :-D

Setelah selesai makan-makan, semua jama’ah merapikan lagi ambengnya. Kalau mau tuker-tukeran ambeng juga boleh, tapi kayanya pada enggan, kecuali saya :-D saya tuker-tukeran bumbu dengan jama’ah yang lain. selanjutnya kami bubar dengan mengucapkan “Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad” kemudian jama’ah menjawab serentak “Allahumma Sholli ‘alaih” dan bubar.

Begitulah acara Maulid Nabi di Kapu yang dikemas dengan acara makan Nasi Uduk bersama, bersholawat bersama, mengenang sosok Nabi Muhammad, mendengarkan petuah-petuah Nabi Muhammad dan bersilaturahim dengan para tetangga. Hikmad sekali. Tau gimana nasib Wingko yang dibawa istri saya? Ludes! Alhamdulillah. :-D Kalau pembaca semua pengen merasakan Udukan silakan datang ke Desa Kapu Kecamatan Merakurak Kabupaten Tuban pada bulan Maulid atau Rabiul Awwal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10 Komentar

    1. Secara Umum sama, cuma nasi uduk di Kapu lebih terasa santannya :-) kalau ndak biasa makan santan bisa sakit perut. Sebelum ke Jakarta, saya kira di Jakarta ndak ada nasi uduk hehehe

  1. Wuaaahhhhhhhh aku jd pengen pulang kampung…. Kalau aku paliiing kangen ana nasi bancaan wis apapun menunya kalau itu bancaan aku suka… Mungkin kalau aku ikut udukan kaya gini juga pasti suka…. Entah rasanya itu nikmat tak tergantikan

  2. Duh, kadang sedih ya jadi orang Jkt yg gk punya kampung. gak merasakan ritual-ritual atau acara keagamaan yg kek gini.. :(