Internet dan Budaya Tutur di Desa

Budaya Tutur di era Media Sosial
Designed by Creativeart / Freepik

Suatu malam di Desa Kapu pada dekade akhir 90an, seorang Imam memimpin sholat teraweh terakhir atau malam ke-30. Para jamaah antusias mengikuti teraweh kali ini, karena tandanya lusa mereka sudah riyaya. Sebelum Sholat teraweh malam terakhir itu dilakukan, sudah beredar desas-desus bahwa lebaran kemungkinan bukan lusa tapi esok hari.

Tetapi Imam dengan keteguhan hati menunggu keputusan Negara tentang kapan Idul Fitri digelar, dan tetap dengan hikmat memimpin teraweh. Setelah teraweh dilaksanakan, para santri seperti biasa melakukan tadarus Alquran yang pada saat itu digelar sampai tengah malam.

Tepat pukul 00.00 speaker Mushola dimatikan. Para santri mulai menata sarung dan tidur di Mushola. Sang Imam pun menuju dalem untum beristirahat. Belum sempat menutup mata, para santri dan sang Imam dikejutkan suara “Besok riyaya, besok riyaya”. Sontak mereka semua segera bangun dan menyalakan speaker Mushola untuk kemudian melaksanakan Takbiran.

Itulah gambaran kehidupan di desa Kapu sebelum saluran internet dan sumber informasi lainnya masuk ke desa ini. Mungkin desa lain di Indonesia merasakan hal yang sama. Pada saat orang di desa Kapu melakukan persiapan sholat teraweh di Jakarta yang berjarak kira-kira 800 KM telah selesai melaksanakan sidang istbat dan telah mengumumkan hasilnya. Tetapi untuk menyebarkan pengumuman tersebut butuh waktu berjam-jam untuk sampai ke pelosok-pelosok desa.

Bukan hanya soal informasi, soal trend pun. Jika suatu kota memiliki sebuah trend maka akan lama menyebar ke tempat yang lain. Tetapi pelambatan penyebaran trend ada untungnya juga sih. Ini menjadikan Indonesia khususnya desa sangat beragam tradisinya. Saya tidak bisa bayangkan jika dahulu sudah tersedia saluran informasi internet, pasti selera makanan orang Indonesia akan dikendalikan oleh artis, seperti kasus cake artis jaman sekarang.

Sebelum era internet, informasi disebarkan melalui mulut ke mulut atau di kenal sebagai Budaya Tutur. Sekarang sudah berubah, walaupun tidak ada data yang menyebutkan secara rinci prosentase tentang seberapa besar akses masyarakat desa terhadap internet. Namun dari survei yang dilakukan oleh APJII pada tahun 2016 lalu dapat menjadi acuan tentang perilaku orang desa berinternet.

Dalam survei APJII 2016, terdapat fakta bahwa jumlah pengguna internet sebesar 132 juta pengguna atau naik 51 % dari tahun 2014. Dilihat dari perilaku, pengguna internet di Indonesia mayoritas mengakses media sosial kemudian disusul oleh media-media berita mainstream. Tapi harus diperhatikan bahwa Facebook mengklaim mampu meningkatkan beberapa kali lipat trafik ke media mainstream, yang berarti akses media mainstream pun sebenarnya berasal dari media sosial.

Fakta media sosial yang begitu dominan, tidak mengherankan. Karena warga Indonesia memang makhluk yang sangat gemar bersosialisasi dan memiliki budaya tutur yang kuat. Kendati internet terdapat trilyunan set data dan informasi, warganet Indonesia lebih senang bertanya alih-alih mencari sendiri informasi yang berserak di Internet. Ini khas Indonesia.

Sastrawan Ahmad Tohari seperti dimuat Antara Jateng menyatakan bahwa Bangsa Indonesia mewarisi budaya tutur, sehingga minat baca belum begitu tinggi. Kemudian apakah dengan jumlah pengakses yang terus meningkat, juga berdampak kepada budaya tutur menurun? Buktinya tidak. Alih-alih hilang, budaya tutur menurut saya malah menemukan momentumnya untuk semakin berkembang.

Maksud saya begini, dalam budaya tutur ketika seseorang membutuhkan informasi, maka akan datang kepada sumber informasi dan bertanya. Bertanya dan bercerita adalah kunci dalam budaya tutur. Jadi ini terlihat dari warganet Indonesia khususnya di desa yang lebih senang bertanya ketimbang mencari informasi di mesin pencari misalnya. Bahkan untuk mengklik berita mainstream pun butuh diberi “pengantar” terlebih dahulu dari koleganya.

Walaupun warganet di desa lebih suka bertanya dibandingkan membaca sendiri, tetapi tidak mudah untuk menyebarkan hoaks di kalangan warganet desa. Ada beberapa percobaan penghasutan warganet desa dengan hoaks dan gagal total. Kasus terakhir adalah percobaan penyebaran hoaks patung Pahlawan China di Tuban. Gagal total, tidak ada satupun warganet di desa yang terhasut.

Budaya tutur di desa yang kadang membuat jengkel para pegiat internet karena sudah capek-capek bikin konten, toh mereka tetap saja bertanya di kolom komentar. Tetapi budaya tutur juga memiliki keunggulan. Salah satunya adalah ketidakpuasan warganet desa pada satu jawaban. Misalnya jika ada yang bertanya soal bagaimana mengurus KTP, maka mereka akan memposting berulang kali, dan bahkan ketika sudah dijawab pun mereka tetap menanyakannya kembali.

Ketidakpuasan terhadap satu jawaban itu menyebabkan orang desa sangat kebal terhadap hoaks di Internet. Butuh usaha keras untuk meyakinkan warganet desa terhadap suatu issue. Walaupun di Internet kebal Hoaks, buktinya toh tidak membebaskan mereka dari Hoaks di dunia nyata. Buktinya masih saja ada yang percaya kalau PLN itu jualan box pelindung meteran listrik. Atau percaya kalau Pertamina jualan Regulator Gas.

Kembali kepada ilustrasi di paragraf pertama tadi, walaupun sudah tidak ada yang teriak-teriak bahwa besok lebaran, tetapi tetap saja tidak mengubah kebiasaan orang desa untuk bertanya di Facebook “Lebaran kapan?” Tanpa mau mengetik di mesin pencari dengan keyword “Keputusan sidang isbat”. Dan tetap menghadapi kenyataan bahwa pertanyaan itu tidak cuma di posting sekali, tapi berkali-kali sampai ada Musholla atau Masjid yang menggelar takbiran.

Jadi menurut saya internet tidak mengubah apa-apa dalam hal minat baca atau budaya tutur di masyarakat desa. Internet malah menjadi media untuk “Cangkruk’an” -yang merupakan perwujudan paripurna dari budaya tutur- tanpa mau berusaha mencari dan menganalisis secara mandiri data yang berserak di Internet. Tugas para relawan dan pegiat internet untuk memberi bimbingan betapa pentingnya analisis data secara mandiri, supaya tidak begitu saja ikut arus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

22 Komentar

  1. Pada era demokrasi terpimpin media atau pers sangat di intimidasi oleh rezim penguasa. Berhubung ada kebebasan pers era reformasi menjadi kebebaan pers semakin menjadi. Sebagai peran kontrol terhadap pemerintah. ekses itu ditimbulkan dari kebebasn pers.

    Salam bloger Tuban..!

  2. Hidup di desa memang adem, green dan freesssss….demikian juga kang rudi walau sekarang di ibu kota tapi tetatp eksis ekspose Tuban tercinta…

  3. Saya tinggal di desa, dan masih merasakan ibu-ibu disini masih doyan bercengkrama, ngobrol remeh-temeh bahkan nggosip hehehe… Ya minat baca orang-orang disini termasuk rendah, saya ke kantor desa aja ada perpustakaan kecil yang berdebu banget buku-bukunya. Emang warga desa doyan bertutur kata, ya…

  4. Kalau di kampung saya, internet masih belum rame banget… rata-rata cuma sekadar googling dan facebookan aja kang, meski beberapa ada yang terpengaruh hoax hehehe

  5. Di kamoung saya malah belum semuanya oaham internet itu buat apa. Penting banget ada pendampingan, supaya mereka pun bisa membimbing anak-anaknya, yang jauh lebih hapal internet